Kejutan Menjelang Tidur

Hari ini kamis 18 November 2010 tidak seperti biasanya. Kalau biasanya saya yang mengajak untuk Sholat baik Dzuhur, Ashar, Magrib, maupun Isyak, sekarang anak-anak sudah lebih duluan mengingatkan saya. “Pak, nanti kita sembayangkah?”, seru beberapa anak yang menghampiriku kira-kira sepuluh menit sebelum waktu sholat tiba. Rasanya Allah memberikan aku banyak kemudahan meski masih singkat waktuku disini.
Sedikit mengingat hari sebelumnya, dimana seusai sholat ashar berjamaah dengan anak-anak, terjalinlah perbincangan antara aku dan anak-anak.
Anak 1 : Pak, setelah satu tahun kita akan pulang ke Jakartakah? (*kita yang dimaksud disini adalah aku sebagai gurunya)
Aku : Iya
Beberapa anak : Yaaaah... Kita tidak bisa sembahyang lagi dong? (sambil memasang wajah sedih)
Aku : Loh, kenapa?
Anak 2: Iya pak, kalau dengan Bapak kami bisa tenang sembahyang.
Aku : Memangnya kalau tidak ada bapak kenapa? (masih bingung apa yang anak-anak maksud)
Anak 1: Biasanya kalau kami sembahyang, yang ada dibentak-bentak pak. Jadi kami sembahyang sambil ketakutan pak. Sudah tidak ingat semua yang harus dibaca. (beberapa anak mengiyakan sambil memperagakan kondisi sholat dengan ketakutan)
Aku : Hmm..berarti sebenarnya kalian bisa bacaan sembahyang?
Anak 2: Dulu hafal pak..sekarang lupa sudah..

Trenyuh hati ini mendengar kata-kata anak-anak ini. Oleh karena itu saya memutuskan setiap habis sholat magrib yang biasanya kugunakan untuk mengajak anak-anak untuk belajar mengaji, maka kini kuganti dulu dengan mengajarkan bacaan sholat lima waktu untuk anak-anak. Setelah mereka lancar, barulah kulanjutkan belajar mengajinya. Magrib ini kucoba untuk pertama kali mengajarkan anak-anak bacaan sholat yang sebagian anak mengaku sudah pernah menghafalkannya tapi kini lupa. Alhamdulillah mereka sangat antusias sekali. Pertama, kubacakan doa iftitah lalu kuminta mereka menirukan. Kedua, kita baca bersama-sama sebanyak 3-6 kali. Ketiga, kuminta satu persatu menghafalkan. Keempat, kuminta kembali memnghafal bersama-sama sebanyak tiga kali. Kelima, kuminta diulang satu persatu. Kemudian bacaan Al-Fatihah dan Al-Ikhlas. Khusus ini, metodenya cukup diulang tiga kali bersama dan satu kali sendiri. Karena mereka sudah cukup hafal sebelumnya. Barulah aku minta mereka mengulang mulai dari takbirotul ikhrom. Selanjutnya metode menghafal doa iftitah kuulang untuk doa rukuk. Kemudian diulang lagi mulai dari takbiraotul ikhram sekaligus dengan peragaan seperti halnya sholat sebenarnya. Kali ini cukup sampai doa rukuk saja, agar tidak terlalu penuh juga di otak mereka. Selain itu memang waktunya sudah masuk Isyak. Senang sekali ketika mendengar meraka langsung mempraktekkan, bahkan di Sholat Sunnah. Memang jadi agak lama karena masih terkesan mengeja. Dan jadi agak mengganggu jamaah yang lain karena suara mereka cukup keras. Tapi tidak apa-apa, dengan ini saya bisa tahu mana bacaannya yang sudah benar dan mana yang masih perlu perbaikan.
----
Jam sudah menunjukkan jam setengah sembilan malam. Tiba-tiba pintu kamarku diketuk. Salah satu anak sudah berdiri di depan pintu, “Pak kalau besok Bapak Sholat Subuh, bangunkan kami juga ya. Kami ingin Sholat subuh ke Masjid”. Subhanallah.... Aku terharu. Padahal biasanya mereka hampir tak pernah Sholat Subuh. Sampai dengan umur mereka sekarang, mereka mengaku ada yang baru 3 kali Sholat Subuh, dua kali, bahkan ada yang mengaku belum pernah. Kini mereka memintaku membangunkan mereka untuk Sholat Subuh. Ini benar-benar anugrah Allah terindah dari sekian banyak kejutan beberapa hari ini. Semoga ini bisa segera menular ke penduduk di sini. Amiiin
----
Usai sholat ashar, seperti biasanya mereka kuajak berdoa terlebih dahulu. Minimal doa untuk kedua orang tua. Doa selesai. Terjalinlah percakapan. “Pak, nanti kita lanjutkan belajar sembahyang lagi?”, tanya seorang anak. “Tentu ^_^”, jawabku. “Kalau gini, nanti kalau Bapak pulang, kami bisa sembahyang sendiri sudah”. Aku tertegun. Rasanya aku habis saja meneguk air es segar sehabis perjalanan di padang pasir dalam terik matahari.
Baca selengkapnya " Kejutan Menjelang Tidur " ini - by Mansyur Ridlo
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

Balajar Huruf Bugis untuk Mengajar Membaca

Suatu sore salah satu tokoh masyarakat datang padaku : "Pak, penduduk disini banyak yang belum bisa baca tulis; bisakah Bapak mengajari kami cara cepat membaca?" *dalam hati ini kesempatan ladang amal buat pemberdayaan masyarakat nih..tapi cara cepatnya gimana ya? , maka kujawab: "insyaAllah Pak, hmm..tapi cara cepat yang bapak maksud seperti apa ya?".."seperti kalau belajar huruf bugis pak" ; "Oh..berarti penduduk sini bisa baca tulis huruf bugis?"; "Iya Pak?"; *Lalu saya ambil kertas dan bolpen: "Bisa tolong tuliskan huruf bugis seperti apa!" *Lalu si Bapak menuliskannya... Tidak tahu darimana datangnya pikiran ini, spontan kujawab: "Baik Pak, kita akan belajar membaca bersama, dasarnya dari huruf Bugis..tapi beri waktu saya untuk mempelajari huruf bugis ini".....
Bismillah semoga ini bukan sekedar nekad..
Ya Rabb..teguhkanlah...
Baca selengkapnya " Balajar Huruf Bugis untuk Mengajar Membaca " ini - by Mansyur Ridlo
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

Mendambakan Guru Baik

Berdasarkan pengakuan para Siswa, Guru-guru disini cenderung menerapkan metode hukuman tangan bagi siswa. Ketika berbicara dengan guru pun, mereka menyarankan demikian. Trend disini sekolah bagaikan piramida. Semakin naik kelas, maka semakin sedikit jumlah siswanya. Ada 2 hal sementara yang dapat saya simpulkan. Pertama, karena kondisi sekolah yang tidak membuat mereka betah kemudian mereka memutuskan untuk putus sekolah. Kedua, orang tua cenderung merasa cukup jika anak mereka bisa baca tulis. Jika sudah, maka tidak perlu melanjutkan sekolah lebih tinggi.

Mereka sangat mendambakan guru baik. Saya pernah mencoba meminta mereka menggambar di akhir jam pelajaran. Dalam buku gambar tersebut saya minta digaris menjadi tiga bagian. Bagian kiri untuk menggambarkan ekspresi hari kemarin dan penjelasannya. Bagian tengah menggambarkan ekspresi hari ini ini. Bagian kanan untuk menggambarkan cita-cita. Dan mengejutkan bagi saya. Hampir semua siswa menggambarkan ekspresi senang pada kolom tengah karena mendapatkan guru baru yang baik. Berikut contoh gambarnya yang sempat saya dokumentasikan.


Kenapa saya terkejut? Karena pada saat itu pun, saya rasa saya masih mengajar dengan datar. Tidak ada segala bentuk permainan yang saya terapkan di Cikereteg 1. Namun, mereka sudah merasakan senang sekali. Suatu malam, seorang murid kelas 6 menghampiriku dan berkata “Pak, kata wati dia mau sekolah lagi kerana guru barunya baik sekali”. Saya hanya bisa tertegun. Saya senang dan terharu. Katanya dia adalah anak yang hendak memutuskan untuk berhenti sekolah.
Baca selengkapnya " Mendambakan Guru Baik " ini - by Mansyur Ridlo
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

Akhirnya Datang Juga

Hari ini, Sabtu 13 November 2010 adalah hari pertamaku masuk sekolah. Malam sebelumnya, saya bertemu dengan Bapak Kepala Sekolah yang sudah berdedikasi selama kurang lebih 25 tahun di SDN 005 Tanjung Harapan ini. Sejak jalan masih berupa dua gelondong kayu sampai dengan saat ini jalan sudah tersusun rapi dari papan kayu. “Dulu saya biasa tuh jatuh dari jalan kayu”, kata istri kepala sekolah yang juga Guru SD tersebut. Dengan polos kutanya, “Terus?”. “Ya, berenang sudah”. Waow..tidak terbayang kalau saat ini jalan masih berupa dua gelondong kayu. Bisa-bisa jalan kemana-mana harus pakai pelampung. Maklum belum mahir berenang.
Seperti yang ditugaskan oleh IM, saya memberitahukan bahwa dalam satu-dua bulan saya diminta untuk observasi dulu. Barulah di semester genap bisa mengajar. Dengan senyum, Bapak Kepala Sekolah menjawab “Hmmm...lihat saja besok”. Dan hari ini benar-benar saya lihat. Ada 6 kelas, guru hanya ada 5 orang. Kepala sekolah meski datang ke sekolah belum bisa turun mengajar karena penyakit strokenya belum pulih benar. Bagaimana mungkin saya hanya duduk manis observasi, sedangkan ada kelas yang tak berguru. Jadi ingat reality show “Akhirnya datang juga”. Tanpa teks, tanpa RPP, saya harus mengajar kelas 4. Guru kelas 4 sebenarnya masih ada, tapi sekarang masih ke Tanah Grogot. Katanya sedang mengurus administrasi sekolah. Sudah 1 bulan lamanya dan belum tahu kapan kembalinya. Kata salah seorang guru, hal ini sudah biasa. Guru kelas 4 biasanya 1-3 bulan ke kota, kemudian kembali mengajar selama 1 minggu dan kembali lagi ke kota. Begitulah rutinitas yang ada. Sebelum pulang sekolah, saya mencoba bertanya kepada Bapak Kepala Sekolah.Kira-kira hari senin saya mengajar kelas 4 lagi atau kelas lain. Beliau kembali menjawab dengan senyum, “Lihat saja hari senin”.
Esok hari, ternyata Bapak Kepala Sekolah harus dibawa ke Tanah Grogot untuk berobat karena penyakit strokenya yang belum pulih benar. Entah sampai kapan beliau berobat. Saya hanya bisa berdoa semoga Bapak bisa lekas sehat seperti sedia kala. Istrinya yang guru kelas 2 pun tentu turut ikut mengantar. Jadi guru di sekolah tinggal 4 orang.

Senin pagi, saya berangkat ke sekolah. Guru kelas 6 melenggang dengan pakaian santai menghampiriku, “titip anak-anak ya”. Saya agak bingung, “Memangnya bapak mau kemana?”. “Saya mau ke Grogot, paling satu minggu. Biasanya saya juga begitu. Satu minggu mengajar satu minggu di Grogot”. Rasanya barusan bapak satu ini mengatakan hal yang sangat aneh bagi saya. Tapi beliau mengatakan dengan santai dan lumrah. Inilah kondisi yang ada di sekolahku. Kondisi guru yang lebih suka ke Tanah Grogot atau mengurus tambaknya atau mengurus budidaya rumput laut membuat kondisi pembelajaran masih tidak menentu. Dan tidak ada jadwal pengurusan tambak, pengurusan budidaya rumput laut, dan jadwal ke tanah grogot semakin membuat proses pembelajaran tidak menentu. Sehingga memang bisa dipastikan ada beberapa kelas kosong setiap harinya, namun belum tahu kelas apa. Sehingga persiapan mengajar pun harus siap dengan kelas berapapun. Ya sekolah ini layaknya reality show “Akhirnya datang juga”. Sejauh ini yang bisa saya lakukan ketika mengurus 2-3 kelas sekaligus. Mereka saya minta untuk gabung dalam satu ruangan, namun dengan baris bangku yang jelas. Misal kelas 4 di sebelah kiri, kelas 5 tengah, dan kelas 6 di sebelah kanan. 2 jam pertama saya gunakan untuk pelajaran tematik kelas gabungan. Ini istilah saya pribadi, jadi bukan tematik antar pelajaran tapi tematik antar kelas. Kemudian waktu istirahat. Setelah istirahat barulah pelajaran per kelas. Saya akan bergiliran menjelaskan pelajaran kelas 4 dengan memahamkan konsep terlebih dahulu, bergilir sampai kelas 6. Ketika kelas itu sudah diberi penjelasan atau belum, maka saya berikan tugas tertentu terlebih dahulu. Di Akhir secara bergiliran saya buat penguatan. Akibatnya tidak banyak materi yang bisa diterangkan dalam setiap harinya.
Baca selengkapnya " Akhirnya Datang Juga " ini - by Mansyur Ridlo
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

Paser Buen Kesong

Tiga kata ini tertulis di Bus Mini Pramuka yang menjemput aku dan 10 pengajar muda yang bertugas di kabupaten Pasir Kalimantan Timur. Pasir Berhati Baik, itulah arti dari Paser Buen Kesong. Membaca slogan ini, entah kenapa hati ini menjadi sedikit lega. Udara yang kuhirup rasanya tidak terlalu asing, padahal ini baru kali pertama saya menginjakkan kaki di pulau terbesar di Indonesia ini. Barang-barang sudah aku dan kawan-kawan masukkan ke dalam bus mini pramuka tersebut. Jalanan cukup macet di bandara Balikpapan ini. Ternyata sebabnya adalah beberapa ruas jalan ditutup pada hari ini. Tidak sembarang jalan bisa dilewati oleh kendaraan bermotor. “Beberapa jalan ditutup, hari ini hari jalan kaki untuk menghormati jasa-jasa para pahlawan”, kata fasilitator kabupaten Pasir. Memang hari ini tepat tanggal 10 November, tanggal diperingatinya Hari Pahlawan. Unik juga kota ini memperingati Hari Pahlawan.

Bus terus melaju menuju tempat berlabuhnya pengiriman barang. Kami harus mengambil terlebih dahulu barang-barang sudah kami kirim sebelum kami berangkat ke Balikpapan ini. Buku-buku bahan ajar sengaja dikirim terlebih dahulu agar tidak terlalu memberatkan barang bawaan saat berangkat. Usai ambil barang, sejenak kami mampir ke salah satu tempat makan di kota ini yang terletak tepat di pinggir pantai untuk mengisi perut yang hampir kosong. Menu makanannya masih tidak jauh berbeda dengan ketika kami di Jawa.

Usai makan dan sholat dzuhur, mesin Bus kembali dinyalakan untuk segera menujur Pasir yang berhati baik. Bus ini hampir tak pernah belok. Jalanan yang kami lalui adalah jalanan lurus seakan tanpa batas. Melewati sedikit rumah dan banyak hutan. Meski jalanan lurus bukan berarti berjalan mulus. Jalan disini meski beraspal, aspalnya membentuk semacam ombak kecil. Kadang juga kami lewati jalan yang sudah rusak aspalnya dan diganti oleh genangan air yang tentu juga bergelombang. Rasanya tanpa musik kami sudah bisa bergoyang di dalam bus. Hmm..berpikir, ini jalan darat sudah berombak. Bagaimana dengan jalan laut ya... Jadi ingat pepatah, pelaut yang tangguh tidak akan lahir dari lautan yang tenang. ^_^
Baca selengkapnya " Paser Buen Kesong " ini - by Mansyur Ridlo
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

Menjemput Pengabdian di Pasir Kaltim

Bismillahirrohmanirrohiim...

Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, aku memulai perjalanan ini.

Hari ini Rabu 10 November 2010, perjalanan ini pun dimulai. Setelah 2 bulan lamanya aku dan 50 pengajar muda digembleng untuk siap mengajar dan siap hidup di daerah yang katanya terpencil. Pukul satu dini hari bus sudah siap di depan Modern Training Center untuk mengangkut para pengajar muda menuju Bandara Soekarno Hatta. Di perjalanan aku mencoba memanfaatkan waktu untuk memejamkan mata seraya mengistirahatkan otak ini karena 2 hari sebelumnya agak terpusingkan dengan packing barang-barang bawaan yang akhirnya muat ke dalam satu koper dan satu tas carier. Entah kenapa packing adalah saat yang paling tidak kusuka, yang jelas bukan karena tempat baru yang akan kutuju. Packing dari rumah di Jombang menuju rumah kakak di belakang kampus UI depok. Packing dari rumah kakak ke tempat kos. Packing dari tempat kos ke Asrama PPSDMS Nurul Fikri. Packing dari asrama PPSDMS ke rumah kontrakan. Packing dari rumah kontrakan ke MTC. Terbaru, Packing dari MTC ke Desa Selengot Kecamatan Tanjung Harapan Kabupaten Pasir Kalimantan Timur.

Ya, Desa Selengot, itulah nama desa yang akan menjadi tempat tinggal sekaligus tempat aku mengajar selama satu tahun ke depan. Terus terang saya masih sangat asing dengan nama daerah ini. Kalau nama Tanjung Harapan, saya sudah pernah mendengarnya. Kata fasilitator kabupaten, desa ini minim sinyal telepon. Hanya sinyal telkomsel yang masuk, itu pun antara ada dan tiada. Air bersih mengandalkan air kiriman Allah dari langit alias tadah hujan. Kalau tidak ada hujan ya bersiap tak mandi. Listrik pun hanya ada beberapa jam saat malam hari. Tidak ada taxi kapal di sini. Kalau hendak bepergian ya harus menumpang di kapal nelayan. Tanah di atas rumah-rumah desa ini berupa rawa-rawa. Katanya penduduknya termasuk keras, bahkan tak segan membawa parang ke sekolah jika ada masalah. Entah karena penduduknya keras, entah karena daerahnya tidak ada alat transportasi umum, entah karena listriknya terbatas, entah karena sumber air bersih susah didapatkan, entah karena sinyalnya antara ada dan tiada, banyak guru yang tidak bertahan lama di daerah ini. Seringkali guru PNS yang ditempatkan di sini hanya ada nama tapi tak ada wujudnya. Wal hasil hanya guru honorer yang mencoba bertahan.

Sedikit banyak aku bisa membayangkan bagaimana daerah yang akan kutinggali nanti. Jujur ada perasaan cemas tapi juga penasaran. Tidak tahu kenapa, hati ini menjerit tetap ingin pergi ke daerah ini. Mungkin saja karena di dalam tubuhku ada jiwa rantauan dari ayahku yang merantau di pulau Jawa sejak ia duduk di bangku SMP dari tanah kelahiranya Bima-Nusa Tenggara Barat. Atau mungkin karena aku malu selama ini hanya bisa menulis mengkritik tentang carut marutnya pendidikan Indonesia, namun tak ada upaya konkrit yang kulakukan untuk merubahnya. Hanya ide berupa tulisan yang kuajukan, namun tak jelas siapa yang mau melakukannya. Atau mungkin karena atmosfir kuat dari 50 pengajar muda lain yang bersemangat menjemput pengabdian. Atau mungkin malu karena sudah terlanjur menandatangani kontrak dengan Indonesia Mengajar selama satu tahun ke depan. Atau malu karena sudah terlanjut dielu-elukan di berbagai surat kabar dan media masa lain. Entahlah, bisa jadi semua mempunyai sumbangsih. Tekadku sudah bulat, aku harus tetap berangkat.


Pukul setengah lima pagi, aku dan 50 pengajar muda dikumpulkan untuk prosesi pemberangkatan. Di awali dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, dilanjutkan dengan sambutan, ditutup dengan menyanyikan lagu Padamu Negeri. Kebisingan lalu lalang kendaraan tidak dapat mengusik kekhitmadan acara ini. Satu-satu saling berjabat tangan seraya memberikan pesan, doa, dan motivasi. Ada mata yang berkaca-kaca, ada pula yang sudah tak tahan mengucurkan air mata. Lima kelompok penempatan berpisah sesuai dengan tujuan masing-masing.
***
Baca selengkapnya " Menjemput Pengabdian di Pasir Kaltim " ini - by Mansyur Ridlo
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

Lencana itu Akhirnya Tersematkan

Hari ini saya bersama 50 rekan pengajar muda yang lain kembali menginjakkan kaki di Modern Training Camp (MTC) Ciawi Bogor. Hari ini, MTC bak mutiara yang telah lama hilang dan berhasil kutemukan. Padahal kami hanya 3 hari meninggalkan MTC. Mau tau kenapa?

Iya, karena 3 hari kemarin kami, 51 pengajar muda, untuk kedua kalinya kembali dibina oleh orang-orang baju loreng dari Rindam Jaya. Tapi ada yang berbeda antara pertemuan kedua ini dengan pertemuan pertama di awal training Indonesia Mengajar. Kami tidak lagi full tinggal di Serambi Rindam Jaya yang hanya ada dua kamar mandi dalam satu serambi itu. Hanya semalam kami merasakan ranjang rindam. Saat itu para pengajar muda putra digabung dengan peserta didik calon pahlawan bangsa dari amukan si jago merah. Karena hanya ada satu serambi yang tersisa di Rindam Jaya. Maklum nampaknya Rindam Jaya merupakan tempat yang recomended untuk melatih mental, fisik, dan kedisiplinan para anak bangsa. Jadi satu serambi tersebut diperuntukkan bagi para pengajar muda putri. Ini menjadi keuntungan tersendiri bagi para pengajar muda putra karena tidak perlu lagi curve serambi alias menyapu, mengepel, dan merapikan serambi karena semua sudah dikerjakan oleh mas-mas pemadam kebaran ^_^.

51 pengajar muda dibagi menjadi 25 kelompok. Jadi satu kelompok hanya terdiri dari 2 orang, dan satu kelompok khusus berjumlah 3 orang. Satu buah golok, satu buah kompor paravin, 4 pak paravin, dua set rantang masak (misting), dua pasang sarung tangan, dua buah kupluk (versi perampok yang hanya ada tiga lubang untuk sepasang mata dan hidung), satu buah senter; inilah perlengkapan untuk bekal setiap kelompok untuk melakukan pelatihan survivle di Gunung Bunder Bogor. Dengan bekal materi pembuatan bifak (tenda dari ponco) dan membaca kompas siang-malam, kami diberangkatkan dengan menggunakan dua mobil bak hijau yang biasa digunakan para tentara menuju Gunung Bunder.

Menjelang sore hari di bawah belaian air hujan di area Gunung Bunder, 51 pengajar muda diajak menjadi vegetarian. Pak Tarjan, sang instruktur yang terlihat sudah berpengalaman membawa banyak tanaman yang siap jadi santapan ketika tidak ada makanan enak layaknya makanan yang dijual di warung-warung atau supermarket. Sebagian diantaranya juga tanaman yang beracun alias yang membahayakan tubuh jika dimakan. Materi ini sengaja diberikan ketika perut kami kosong karena siang hari tidak ada seteguk air dan sesuap nasi yang masuk di perut kami. Wal hasil setiap peraga tanaman yang bisa dimakan selalu jadi rebutan dan amblas dalam waktu singkat. Materi ini ditutup dengan peragaan dua jenis ular yang bisa dimakan dan tidak. Satu ular peraga ternyata tepat sedang melakukan aksi ganti kulitnya. Wow..ini menjadi pemandangan yang cukup langka bagi kami.

Setengah liter beras, 4 bungkus mie instan, setengah batok gula jawa, 3 bungkus garam dapur, satu bungkus ikan asin, dua bungkus sambal pecel, dua bungkus kecap, dan 4 botol air mineral 1,5 liter dibagikan kepada setiap kelompok. Hati sedikit lega, setidaknya ada bahan makanan untuk 2 hari ke depan. Lega karena ini berarti memperkecil peluang bagi saya untuk makan snack tanaman yang sudah diperagakan tadi.
“Silahkan masak dan makan habis bahan-bahan yang ada di tangan kalian sekarang, khusus gula jawa, garam dan air mineral boleh disisakan”
---ziiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnnnnnnnnggggggggg----

Ups, hati urung lega. Instruksi ini mengubah raut muka kami. Setelah selesai masak dan makan dengan aroma khas paravin, kami dituntun ke tempat pendirian bifak kami masing-masing. Setiap kelompok dipencar, meski jaraknya tidak terlampau jauh antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Yang jelas posisi kami dekat dengan sumber air bersih. Sumber air bersih berupa sungai dengan lebar sekitar 1-2 meter ini tidak diperbolehkan digunakan untuk aktivitas MCK karena sumber air ini juga yang digunakan oleh penduduk di bawah Gunung Bunder.

25 bifak dengan berbagai model sudah berhasil didirikan seiring mentari yang perlahan pergi. Bersama Adi Bayu Persada, kumulai malam pertama di Gunung Bunder dengan sholat magrib berjamaah. Untung sudah ambil dua botol air bersih sebelum senja tadi. Jadi bisa dipakai wudlu dan buang air kecil jika mulai tak tahan. Malam ini serasa berjalan sangat lambat. Bunyi-bunyi hewan hutan yang riang gembira mendapatkan teman baru menjadi teman kami bermalam selain alunan lagu dangdut yang terdengar dari kejauhan. Obrolan pun terjalin, menjadi mengenal lebih dalam karena malam yang tiada hiburan.

Esok hari, rekan-rekan pengajar muda akhirnya menerapkan materi vegetarian. Mau tidak mau, kami harus mencari bahan makanan untuk bertahan hidup. Meski nasib saya dan Bayu sedikit lebih beruntung. Masih tersisa di tas kami sedikit beras dan satu mie instan karena sore sebelumya kami tidak berhasil habis memasaknya dan oleh para instruktur pun tidak diminta. Daripada mubadzir, ya lebih baik kami bawa. Bubur saos gula merah pun saya buat untuk pertama kalinya dalam hidup ini. Wah.ternyata enaaaaak. Entah ini enak karena benar-benar manjur resepnya atau karena tidak ada makanan lain. Pak Tarjan, tiba-tiba bertenger di depan tenda saya dan Bayu. Pak Tarjan tertawa terbahak-bahak melihat tingkah polah kami. “Kalian ini terlalu polos, masak bahan makanan disuruh menghabiskan dihabiskan beneran; simpan donk sebagian”
Huuuh...ternyata instruksi kemarin hanya mengecoh.
Tapi karena kepolosan rekan-rekan, hari menjadi seru. Hari saling berbagi tanaman dan masakan ‘aneh’. Sebanyak apapun kami mengumpulkan bahan makanan, tetap saja hanya sedikit yang tertelan. Harus diakui perut ini belum terbiasa.

Jam 2 siang setelah sebagian bifak terendam air karena hujan lebat. Pelangi muncul. Kami medapatkan bahan makanan baru yaitu 2 singkong, 2 ubi, satu bungkus mie instan, satu bungkus beras plus ikan asin, dan seperempat batok gula jawa. 2 hari ini mie instan rebus dan ubi-singkong rebus menjadi makanan terlezat sedunia.

Malam kedua Gunung Bunder ternyata masih berjalan sangat lambat. Meski demikian, malam ini lebih hidup dibanding malam sebelumnya. Beberapa bifak menjadi pusat ‘tongkrongan’. Ada yang memang ingin bertemu satu sama lain, ada juga yang karena motiv ‘mengungsi’. Jika dipikir-pikir, kondisi kami ini masih jauh lebih beruntung jika dibandingkan dengan saudara-saudara kita yang sedang berada di tenda pengungsian mentawai, merapi, dan wasior . Semoga mereka semua bisa segera kembali hidup tenang seperti sedia kala.

Perapian menyala di depan bifak Firman-Rusdi. Di situ berkumpul beberapa rekan pengajar muda yang berharap malam segera berlalu dengan menghangatkan badan plus kaus kaki dan sepatu mereka yang basah. Percakapan pun terjalin. Sedikit saya kutip salah satu percakapannya. Sholeh tiba-tiba nyletuk, “Lain kali kita jalan-jalan lagi yuk seperti ini”. Patrya pun menjawab dengan nada khasnya, “Makasih loh..saya nganterin sampai pintu gerbang aja”.

Kuk..kuruyuk...suara ayam jago sayup-sayup terdengar tanda mentari telah mulai menyapa. Jam 6 pagi kami harus bersiap turun ke bawah. Hmmm...hawa peradaban mulai tercium segar. Satu per satu pengajar muda turun. Ternyata di bawah sudah berjajar Pak Anies Baswedan, Pak Sjahid, Bu Nia, Pak Hikmat, Bu Evi, Pak Endang, dan Pak Eko. Tepuk tangan bergemuruh mereka sampaikan kepada setiap pengajar muda. Satu lembar kertas sudah dipegang Pak Anies. Diserahkannya lembar itu padaku seraya menjabat tangan, “Dari Jombang ke pelosok negeri, Selamat Mansyur kamu telah berhasil mengikuti pelatihan ini dengan baik..bla..bla..bla..”. Ternyata itu adalah piagam penghargaan pelatihan pengajar muda. Huaaahh....rasanya kok baru kemarin pelatihan. Kini sudah H-5 deployment saja.

Rangkaian ini ditutup dengan upacara penutupan dan penyematan lencana Indonesia Mengajar kepada setiap pengajar muda. Tak lupa para pengajar muda membawa bingkisan snack daun semang yang harus dimakan oleh semua tim Indonesia Mengajar dari kameramen sampai Pak Anies Baswedan.

“Ya Rabb, kuatkanlah dan teguhkanlah langkah ini menjemput pengabdian di pelosok negeri”
Baca selengkapnya " Lencana itu Akhirnya Tersematkan " ini - by Mansyur Ridlo
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

Menjadi Artis

“Beri salam: Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh...”. Suara ini masih terngiang jelas di telinga. Suara anak-anak SD Cikereteg 1 setiap hari ketika hendak memulai pelajaran di kelas. Suara dengan penuh keceriaan dan semangat dari wajah-wajah yang masih polos. Suara yang mampu memberikan kekuatan pada kakiku untuk melangkah ke sekolah setiap harinya. Suara ini pula yang semakin memberikan aku semangat untuk segera berangkat ke SD di Selengot Kabupaten Pasir Kalimantan Timur. Suara anak bangsa yang menyiratkan harapan masa depan Indonesia.


Minggu ke enam pelatihan Indonesia Mengajar merupakan minggu yang paling hidup. Minggu ini kami, 51 pengajar muda diterjunkan langsung ke 10 SD di sekitar tempat pelatihan kami untuk belajar mengajar. Kami bertemu langsung dengan anak-anak SD sesungguhnya. Bukan anak SD yang diperankan oleh anak-anak yang sudah berusia 21 sampai dengan 27 tahun. Anak SD dengan ragam yang sesungguhnya. Bukan ragam yang direkayasa sedemikian rupa. Anak SD dengan segala daya kreativitasnya. Anak SD dengan segala canda tawanya. Anak SD dengan kepolosannya melihat dunia.
Di sinilah kami belajar mengajar sesungguhnya dengan segala dinamika di dalamnya. Satu minggu tentu waktu yang tergolong singkat untuk mengerti apa itu mengajar, bagaimana itu mengajar, harus seperti apakah kita mengajar. Meski bagi Donie Koesoema dalam bukunya “Pendidikan Karakter di Zaman Keblinger”, mengajar merupakan dimensi sempit dari mendidik yang cenderung hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada peserta didik. Namun, bagi saya sudah tidak terlalu penting menggunakan kata mengajar atau mendidik. Karena esensinya adalah terletak bagaimana seorang guru menyatu menjadi bagian dari peserta didiknya, melihat masa depan di setiap lentik mata peserta didiknya, ikut resah sebagaimana orang tua kandungnya resah akan masa depan anaknya, dan mengeluarkan segenap kemampuannya untuk memberikan pengajaran terbaik bagi anak didiknya. Satu minggu untuk satu tahun yang berarti.


Hari minggu aku turun dari camp untuk mencari makan. Di depan pintu camp sudah ada 5 anak yang tiba-tiba menghampiri dan mengulurkan tangannya tanda ingin berjabat tangan. “Kak Mansyur!”, suara nyaring itu keluar dari lima anak itu seraya menjabat tangan dan mencium tanganku. Masih agak canggung ternyata meski sudah beberapa kali menghadapi hal yang serupa, entah kenapa. Ketika di warung, 2 anak laki-laki menghampiri dengan senyum lebarnya. “Kak Mansyur!”, maka ritual jabat tangan kembali diulang disini. Ternyata mereka tidak hanya berdua, beberapa anak lagi keluar dari sebuah toko di samping warung yang kutempati dan kembali melakukan ritual jabat tangan dengan senyum lebarnya. Ada perasaan aneh, senang tapi juga canggung. Canggung harus berkata-kata apa dan bersikap bagaimana. Khawatir kata-kata dan sikapku ternyata tidak patut untuk ditunjukkan. Khawatir akan mencaji contoh yang tidak baik. Terbesit dalam pikiranku “Oh..ini ya rasanya jadi guru”. Sekarang tidak bisa lagi bertutur kata dan bersikap sembarangan, sekarang tidak bisa lagi jajan sembarangan. Ternyata memiliki anak didik bisa menjadi kontrol bagi diri kita. Memiliki anak didik bisa melatih kedewasaan. Memiliki anak didik bisa menjadi pelajaran tersendiri bagi kita. Pelajaran hidup yangsangat berharga.



Guru atau artis


Sejak acara syukuran Indonesia Mengajar yang digelar di Plasa Bapindo 20 Oktober 2010 lalu, para pengajar muda dirundung banyak permintaan wawancara layaknya artis yang baru naik daun. Hal ini ternyata tidak berhenti begitu saja di minggu keenam ini. Beberapa permintaan wawancara tetap berdatangan. Malu rasanya, malu karena sebenarnya kami belum melakukan apa-apa. Sementara ini bahkan kami masih dalam masa pembekalan. Belum layak rasanya untuk berbicara di khalayak. Namun, di sisi lain jika dipikirkan lagi hal ini juga memberikan dampak positif. Dalam maraknya berita bernada pesimistis negara ini di berbagai media masa, agaknya berita Indonesia Mengajar salah satu cerminan optimisme negara ini. Guru yang biasanya cenderung diberitakan ketika ada kasus penyimpangan, seperti tindak asusila guru pada muridnya, kekerasan guru pada anak didiknya, dan lain sebagainya. Kini berita ini adalah guru yang memberikan secercah harapan baru. Guru bukan lagi artis kriminal, tapi sekarang jadi artis optimisme. Harapannya ini bisa menjadi virus bagi banyak media agar memberikan pemberitaan optimisme. Harapannya ini bisa menjadi trend tersendiri bahwa anak muda mengabdi di untuk bangsa di daerah terpencil bukan lagi hal yang tabu tapi bahkan hal yang mulia.


Jamuan sore di kediaman Arifin Panigoro founder dari Medco Group dan jamuan makan malam dengan Prof Fasli Jalal, wakil menteri pendidikan nasional melengkapi nuansa keartisan para pengajar muda. Semangat, keoptimisan, harapan, dan dukungan semakin menguatkan langkah ini untuk mengabdi di pelosok negeri.

http://blog.indonesiamengajar.org/mansyurridho/
Baca selengkapnya " Menjadi Artis " ini - by Mansyur Ridlo
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments